Kamis, 18 Oktober 2012

ReEksistensi Peradaban Islam Dalam Teologi Sistematika Nuzulnya Wahyu

Dalam sejarah dikenal adanya masa kejayaan islam (peradaban Islam) yang dimulai masa Rasulullah sampai runtuhnya sistem kekhalifahan Turki Usmani tahun 1924 M. Kemudian dalam perjalanan sejarah sampai sekarang dikatakan sebagai masa kelam karena dianggap peradaban Islam tidak nampak.
Peradaban merupakan istilah yang memiliki makna multi tafsir, tergantung sudut pandang mana yang digunakan. Banyak tulisan baik dalam bentuk buku maupun tulisan lepas lainnya yang menjelaskan tentang makna peradaban dengan segala ruang lingkupnya. Dalam tulisan ini akan mencoba memberikan pandangan baru tentang peradaban Islam berdasarkan perspektif wahyu dengan topik re-eksistensi peradaban Islam. Maksudnya adalah suatu upaya memberikan alternatifmakna peradaban khususnya makna Peradaban Islam berdasarkan tata urutan wahyu yang turun pertama kali (Tartibu Nuzulil wahyi).
Tulisan ini juga akan memberikan paradigma baru bagaimana membangun peradaban Islam berdasarkan wahyu (al-Qura'n) dengan mengggunakan istilah strategi pencapaian eksisnya peradaban Islam. Startegi yang dimaksud dibangun bertolak dari penggal ayat – ayat pertama turun di Makkah dengan penjelasan sebagai berikut : (1) Al – Alaq : Filosofi Peradaban Islam, (2) Al – Qalam : Visi, Misi, Strategi Peradaban Islam, (3) Al – Muzammil : Spirit Peradaban Islam, (4) Al – Mudatsir : Manajemen Strategi Peradaban Islam, (5) Al – Fathehah : Existensi Peradaban Islam.
Kata kunci : Peradaban Islam,teologi, dan Sistematika Nuzulnya Wahyu
A. PENDAHULUAN
Akhir – akhir ini, telah bermunculan tokoh tingkat nasional dan internasional yang memainkan peran sebagai pencerah umat dengan beragam konsep membangun peradaban. Konsep membangun peradaban itu ditawarkan mulai dari rumah tangga hingga tingkat “rumah tangga” negara dan dunia. Jika kita merujuk kembali pada sejarah peradaban mayor, maka sumber inspirasi perjuangan para ahli peradaban Islam adalah Nabiullah Muhammad Saw. Adalah suatu momen yang sangat tepat bahwa kita sebagai pencerah (enlighter) umat menggagas diadakannya berbagai diskusi dan seminar tentang peradaban sebagai proses re – eksistensi peradaban Islam.
Filosofi diadakan diskusi tentang peradaban ini adalah karena adanya ketidakpuasan bagi aktivis pencerah umat terhadap kondisi umat manusia yang bertambah terpuruk dari nilai kemanusiaannya. Ketidakpuasan tersebut cukup beralasan karena secara faktual bahwa umat manusia kini eksistensinya sudah menjadi budak materi yang mengindikasikan bahwa fungsi manusia sebagai subyek berubah menjadi obyek. Kegelisahan para pencerah umat khususnya para pemikir Hidayatullah, berkesimpulan bahwa perlu mengadakan suatu terobosan berpikir dan beraksi nyata dalam dunia pencerahan tentang peradaban Islam agar umat manusia pada umumnya dan umat Islam khususnya tidak terjebak dalam rutinitas kehidupan bendawi yang menjenuhkan.
Berkaitan dengan rasa ketidakpuasan tersebut, menimbulkan suatu kerisauan yang melahirkan beberapa pertanyaan : Sejauhmana para pencerah (muballigh) mempengaruhi pola pikir umat dalam memahami ajarannya? Pijakan dan perspektif peradaban apa yang akan ditawarkan ? Bagaimana strategi mengeksplorasi konsep peradaban tersebut ? Untuk apa konsep peradaban tersebut dieksplorasi ? Pertanyaan – pertanyaan ini penting untuk dijawab dalam hubungannya dengan tema peradaban Islam yang akan ditawarkan kepada publik.
Selanjutnya sebagai harapan terhadap diskusi tentang peradaban ini, semoga dapat menghasilkan rumusan konsep peradaban yang dapat diretas lebih lanjut oleh tim khusus peradaban dalam hal ini adalah “INISIASI”2 (Institute of Islamic Civilization Studies and Development) hingga menjadi suatu konsep peradaban yang komprehensif. Untuk itu, kami yakin bahwa tim “INISIASI” akan dapat merumuskan dan menyimpulkan dari berbagai makalah yang disajikan oleh para nara sumber sebagai kunci pembuka inspirasi untuk menggali Sistemaika Nuzulnya Wahyu (SNW) sebagai konsep dasar peradaban Islam yang akan dibangun. Harapan tersebut disampaikan, tentunya didasari oleh suatu pertimbangan idealisme yang tinggi agar kiranya Islam dapat tegak dan jaya kembali melalui sentuhan pemikiran para pakar yang dihimpun oleh “INISIASI”. Untuk menuju kearah sana tiada jalan lain kecuali dimulai dari menggali konsep dasar peradaban Islam yaitu merujuk kepada SNW yang dikemas sesuai dengan tuntutan zaman dan kebutuhan umat.
B. TINJAUAN LITERATUR
Sejarah manusia pada dasarnya merupakan sebuah proses penciptaan dan kehancuran masyarakat beserta kebudayaan dan peradabannya secara terus-menerus sesuai dengan norma-norma yang pada prinsipnya bersifat moral. Sumber norma-norma itu bersifat transenden, tapi keseluruhan aplikasinya berada dalam eksistensi kesejarahan kolektif manusia yang imanen. Norma-norma yang dimaksud adalah apa yang dalam Islam disebut Sunnatullah (Fazlur Rahman, 1983)
Dari perspektif Al – Qur’an, siklus sejarah manusia dan peradabannya yang demikian itu kemudian menetapkan bahwa Al – Qu’ran telah menjadi saksi atas "hukuman sejarah" yang telah ditimpakan kepada masyarakat, bangsa-bangsa pemilik peradaban terdahulu. Islam pernah berada pada posisi puncak peradaban dunia sampai tiba saatnya mengalami kemunduran, persis seperti peradaban-peradaban masa lampau sebelum Islam hingga runtuhnya Marxisme di negara-negara bekas Uni Soviet pada dasa warsa terakhir milenium kedua.
Sebagian peradaban masa lampau telah musnah dan dimusnahkan setutantas-tuntasnya hingga yang tersisa tinggal artefak-artefak material dan kenangan akan kejayaan kognisi intelektual dan spiritualnya. Dikatakan sebagian karena tidak atau belum seluruh dunia dihancurkan. Al – Qur’an membenarkan akan "hukuman sejarah" (baca: kehancuran) itu. Mengapa hukuman sejarah ditimpakan? "Katakanlah, itu dari (kelalaian) dirimu sendiri" (QS. 3:165, juga 3:139-140).
Oleh sebab dosa - dosa dan kelalaian kolektif manusianya, sebuah peradaban dimusnahkan agar menjadi bahan permenungan generasi berikutnya. Munculnya kehendak untuk introspeksi dan itikad untuk memperbaiki diri, menjamin -- setidaknya demikian pesan Al – Qu’ran -- sebagian peradaban masih hidup dan bertahan (QS. 11:100, juga QS. 100:24). Itulah grand design Tuhan, Sunnatullah yang secara sinergis dan relasional dipersaksikan dalam Al – Qur’an.
Peradaban umumnya dipahami sebagai entitas sosial yang besar melebihi individu, keluarga, masyarakat, bahkan negara. Peradaban juga berarti pengelompokan tertinggi orang-orang dan tingkat identitas budaya yang luas dan komprehensif yang membedakannya dengan entitas lainnya. Peradaban dibatasi oleh unsur-unsur objektif seperti bahasa, sejarah, agama, adat istiadat, pandangan dunia (world view), lembaga-lembaga. Ia juga dibatasi unsur subjektif berupa identitas diri peradaban.
Keluasan dan komprehensivitas peradaban menjadikannya tidak eksklusif milik suatu bangsa atau negara tertentu. Ia bersifat melintasi (beyond) batas-batas geografis dan geopolitis sebuah negara. Dalam catatan Arnold Toynbeesetidaknya ada dua puluh satu peradaban yang pernah hidup dan mendiami dunia ini, namun sebagian besarnya sudah mengalami siklus kemusnahan sehingga tidak meninggalkan sisa apa pun (Munawar, AM, 2002).
Dalam bahasa Indonesia, kata peradaban sering diidentikkan dengan kata kebudayaan. Akan tetapi dalam bahasa Inggris, terdapat perbedaan pengertian antara civilization untuk peradaban dan culture untuk kebudayaan. Demikian pula dalam bahasa Arab dibedakan antara tsaqafah (kebudayaan), hadharah (kemajuan) dan tamaddun (peradaban). Dalam bahasa Melayu istilah tamaddun dimaksudkan untuk menyebutkan keduanya yaitu kebudayaan dan peradaban (LESF,2004.,h.7).
Peradaban (civilization) dapat diartikan sebagai hubungannya dengan kewarganegaraan karena diambil dari kata civies (Latin) atau civil (Inggris) yang berarti seorang warga Negara yang berkemajuan. Dalam hal ini dapat diartikan dengan dua cara (1) proses menjadi berkeadaban, (2) suatu masyarakat manusia yang sudah berkembang atau maju. Berdasarkan pengertian tersebut maka indikasi suatu peradaban adalah adanya gejala-gejala lahir seperti; masyarakat yang telah memiliki berbagai perangkat kehidupan (Fyzee,1982.,h.7-11)
Peradaban adalah identik dengan gagasan tentang kemajuan sosial, baik dalam bentuk kemenangan akal dan rasionalitas terhadap dogma maupun doktrin agama, memudarnya norma - norma lokal tradisional dan perkembangan pesat ilmu pengetahuan alam dan teknologi. Secara metafisis, peradaban juga berarti bahwa manusialah yang merupakan pusat alam semesta (man centred universe) dan bukan Tuhan (God centred universe). Dalam perkembangan selanjutnya, konsep peradaban kemudian diasosiasikan dengan kebangkitan negara – negara absolut, otonomi politik lokal dan uniformitas kultural yang lebih besar dalam negara-negara itu. Segala hal, berupa perbuatan dan pemikiran manusia tak bisa dilepaskan dari peradaban. Jadi, konsep peradaban bersifat mencakup semua. Oleh karena itu, menjadi beradab adalah menjadi santun dan berakhlak baik dan peduli pada orang lain, bersih dan sopan dan higienis dalam kebiasaan pribadi dan sebagainya (Mennell, Norbert Elias, 1989.,h. 35).
Sebuah peradaban tinggi seharusnya bisa menjaga keagungan manusianya, memberikan kepuasan terhadap fisik, estetika psikis, dan kreativitas manusianya. Oleh sebab itu, ia meniscayakan adanya fleksibilitas yang saling menunjang antara manusia dan peradabannya. Dari perspektif Bateson itu, kita bisa mengemukakan bahwa superioritas sebuah peradaban tidak merupakan jaminan bahwa ia dan manusia pendukungnya memiliki pencitraan tinggi dan luhur. Hal itu akan sangat ditentukan dan bergantung pada apa - apa yang menjadi pondasi dan tiang penyangganya (Gregory Bateson, 1972).
Peradaban Islam sesungguhnya adalah suatu peradaban yang mempunyai kerangka pedoman berdasarkan Wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. Kedua intisari sumber ajaran Islam, al - Qur’an dan al - Hadits adalah seiring dengan perkembangan zaman dan perluasan wilayah penyebaran Islam telah melahirkan sistem gagasan yang tumbuh melalui jalur – jalur pemikiran ke - Islaman. Secara tradisional, jalur pemikiran yang mendorong gerak peradaban umat Islam, ialah dibidang hukum (fiqh), teologi (tauhid) dan mistisisme (tasawuf) (LESF, 2004.,h.10).
Peradaban adalah manifestasi keyakinan dalam setiap aspek kehidupan manusia. Dengan demikian, peradaban Islam adalah manifestasi keyakinan Islam (tawhid) dalam setiap aspek kehidupan Islam (Suharsono,dalam makalah 2006., h.3).
Peradaban Islam adalah membangun setiap aspek dan strategi kehidupan yang merupakan manifestasi dari pada keyakinan atau iman (DPP, 2006).
Selanjutnya, teologi berbicara menyangkut aktivitas mental dan intelektual berupa kesadaran manusia yang paling mendalam dalam menentukan pilihan – pilihan metafisisnya, yang terkait dengan hubungannya dengan Tuhan, alam lingkungan dan sesamanya, yang kemudian mewujud dalam tingkah laku nyata kesehariannya. Dengan demikian teologi dalam makna fungsionalnya adalah suatu dorongan hati dan akal yang melahirkan kesadaran metafisis yaitu suatu matra yang paling dalam dari diri manusia baik individu atau kelompok yang memformat pandangan dunianya (world view), yang kemudian merefleksikan pola sikap dan tindakan yang selaras dengan pandangan dunia. Oleh karena itu, teologi pada akhirnya akan mempunyai implikasi yang sangat sosiologis, psikologis, antropologis bahkan politis (Agus Purwadi, 2002.,h.53).
Teologi berangkat dari keimanan terhadap sifat kebenaran mutlak bahan – bahan tekstual kewahyuan – al– Qur’an dan al - Hadits. Para teolog membangun argumentasinya secara dialektis berdasarkan keyakinan baik – buruk tekstual, dari situ berupaya mencapai kebenaran kebenaran baru (Haidar Baqir. 2005.,h.70).
Teologi adalah upaya sistematis untuk menampilkan, menafsirkan, dan membenarkan kepercayaan pada Tuhan dengan cara yang konsisten dan bermakna (kamus filsafat,1995.,h.341).
Teologi memiliki makna yang sangat luas dan dalam. Sedangkan yang dimaksud dengan teologi dalam ruang lingkup filsafat metafisika adalah filsafat ketuhanan yang bertitik tolak semata – mata kepada kejadian alam (teologi naturalis). Pemikiran kefilsafatan tentang ketuhanan ini dengan meningkatkan keteraturan hubungan antara alam dan Pengatur alam tersebut. (Sudarsono, 2001.,h.129).
Adapun Sistematika Nuzulnya Wahyu adalah rumusan pemikiran secara baku berdasarkan urut – urutan turunnya wahyu (ayat – ayat) yang turun pada awal mula (al-Alaq, al-Qalam, al-Muzammil, al-Mudatsir) dan surah al-Fathehah (Wawasan Idiil, 1988).
Re – eksistensi Perdaban Islam dalam Teologi Sistematika Nuzulnya Wahyu adalah “Membangun kembali Peradaban Islam pada setiap aspek dan strategi kehidupan sebagai manifestasi dari pada iman atau keyakinan yang tumbuh dari Sistematika Nuzulnya Wahyu (ayat – ayat) yang turun pada awal mula (al-Alaq, al-Qalam, al-Muzammil, al-Mudatsir) dan surah al-Fathehah”.
Al – Qur’an tidak hadir ke dunia di ruang hampa peradaban. Penelusuran Fazlur Rahman (1983) menunjukkan bahwa menurut Al – Qur’an, ada sebuah diskontinyuitas yang esensial antara peradaban yang tua serta mati dan peradaban yang datang menggantikannya. Dalam Al – Qur’an, pernyataan seperti "maka Kami ciptakan generasi baru" sering ditemui (lihat. QS 6:6, juga QS. 23:31), juga pernyataan bahwa "Kami akan mewariskan dunia kepada bangsa baru yang lebih berhak" (QS. 21:105, juga QS. 33:27).
Sudah barang tentu, yang sesungguhnya mewarisi dunia ini adalah Allah sendiri, tetapi Dia memberikan tanggung jawab untuk menangani masalah - masalah dunia ini kepada bangsa-bangsa yang berhak, selama mereka berkesanggupan (QS. 15:23, juga QS. 19:40). Dari sini bisa ditegaskan lebih lanjut bahwa keniscayaan sebuah peradaban baru akan menggantikan peradaban yang menjelang usang dan uzur, harus terlebih dahulu "memetik pelajaran" dari peradaban yang telah dan menjelang musnah. Jika tidak, mereka akan mengulangi (lagi) siklus sejarah penciptaan dan kehancuran yang sama, karena satu hal; "hukum Allah tidak akan pernah berubah" bagi setiap bangsa dan peradaban.
Itulah sebuah "pandangan dunia Qur’ani", yang dalam konteks siklus peradaban manusia, Al – Qur’an terus-menerus menyuruh manusia (tidak hanya Muslimin) "Untuk berjalan di atas bumi dan (dengan) menyaksikan (merenungkan sebab - musabab dan akibat - akibat yang ditimbulkan dari) nasib yang telah menimpa bangsa - bangsa pemilik peradaban terdahulu" (QS. 3:137, 6:11 dan lainnya).
Tiba saatnya, para pencerah umat menggagas diskusi tentang peradaban khususnya peradaban Islam yang akan membuktikan bahwa al-Qur’an adalah Mu’jizat yang dapat mengungguli segala konsep pemikiran man centred. Oleh karena itu, mampukah para pemikir Hidayatullah melahirkan pemikiran – pemikiran strategis yang bersumber dari konsep dasar Sistematika Nuzulnya Wahyu ? Salah satu pemikiran strategis itu adalah konsep peradaban Islam yang dapat dijadikan rujukan semua pihak dalam membangun peradaban manusia yang tinggi.
C. METODOLOGI
Metode berasal dari bahasa Yunani “methodos” berarti melalui jalan, cara, arah. Metode dapat pula diartikan sebagai uraian ilmiah penelitian, metode ilmiah. Metode juga dapat diartikan sebagai cara bertindak menurut sistem aturan tertentu dengan tujuan agar aktivitas praktis dapat terlaksana secara rasional dan terarah supaya dapat mencapai hasil yang sebaik – baiknya (Sudarsono.2001,.h.86).
Kemudian bagaimana cara menyusun pengetahuan yang benar agar mendapatkan suatu jawaban yang benar pula. Masalah inilah yang dalam kajian filsafat termasuk dalam wilayah epistemologi dan landasannya adalah metode ilmiah. Metode ilmiah adalah cara yang dilakukan ilmu dalam menyusun pengetahuan yang benar. Kemudian apa yang disebut dengan suatu kebenaran itu ? Setiap jenis pengetahuan mempunyai ciri – ciri yang spesifik mengenai apa (ontologi),bagaimana (epistemoogi) dan untuk apa (aksiologi) pengetahuan tersebut disusun. Ketiga landasan tersebut saling jalin berkelindan tak dapat dipisahkan antara satu sama lain. Berdasarkan landasan ontologi dan aksiologi maka bagaimana mengembangkan epistemologi yang cocok. Persoalan utama yang dihadapi oleh setiap epistemologi pengetahuan pada dasarnya adalah bagaimana mendapatkan pengetahuan yang benar dan valid dengan memperhitungkan aspek ontologi dan aksiologi masing – masing. Demikian juga, masalah yang dihadapi epistemologi keilmuan yaitu bagaimana menyusun pengetahuan yang benar untuk menjawab permasalahan mengenai dunia empiris yang akan digunakan sebagai alat untuk meramalkan dan mengontrol gejala alam.
Dengan berkembangnya metode ilmiah dan diterimanya metode ini sebagai paradigma oleh masyarakat keilmuan, maka sejarah kemanusiaan menyaksikan perkembangan pengetahuan yang sangat cepat. Metode ilmiah ini dipelopori oleh Copernicus (1473 – 1543), Kepler (1571 – 1630), Galileo (1564 – 1642) dan Newton (1642 – 1727), dan menurut Whitehead bahwa periode antara 1870 – 1880 sebagai titik kulminasi perkembangan ilmu sejak Helmhoultz, Pasteur, Darwin dan Clerk – Maxwell behasil mengembangkan penemuan ilmiahnya (Alfred N. Whitehead.1948,.h.106, dalam Yuyun).
Metode ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu. Metode, merupakan suatu prosedur atau cara mengetahui sesuatu, yang mempunyai langkah – langkah yang sistematis (Peter R. Senn. 1971,.h.4). Metodologi merupakan suatu pengkajian dalam mempelajari peraturan – peraturan dalam metode tersebut (ibid.,h.6). Metodologi ilmah adalah merupakan pengkajian dari peraturan – peraturan yang terdapat dalam metode ilmiah. Metodologi ini secara filsafati termasuk dalam apa yang disebut epistemologi. Epistemologi merupakan pembahasan mengenai bagaimana untuk mendapatkan pengetahuan. Apakah sumber – sumber pengetahuan ? Apakah hakekat, jangkauan dan ruang lingkup pengetahuan ? Sampai tahap mana pengetahuan yang mungkin untuk ditangkap manusia (William S. Sahakian. 1965.,h.3). Berpikir adalah kegiatan mental yang menghasilkan pengetahuan (T.H. Huxley. 1964., h. 2). Dengan cara bekerja ini, maka pengetahuan yang dihasilkan diharapkan dapat mempunyai karakteristik - karakteristik tertentu yang diminta oleh pengetahuan ilmiah yaitu sifat rasional dan teruji yang memungkinkan tubuh pengetahuan yang disusunnya merupakan pengetahuan yang dapat diandalkan. Dalam hal ini, metode ilmiah mengembangkan cara berpikir deduktif dan induktif dalam membangun tubuh pengetahuannya.
Terkait dengan aksiolgi peradaban Islam adalah sebagai entitas hidup dan kehidupan manusia maka perpespektif pengetahuan yang akan dibangun adalah epistemologi pengetahuan yang bersumber dari Wahyu al - Qur’an dan as- Sunnah. Metodologi seluruh pemikiran Islam salaf bersumber dari sistem logika Aristotelian yang diterjemahkan oleh al-Farabi kedalam lmu mantiq. Berbagai tesis filosofis didalam dunia Islam bersumber dari tradisi Platonian dan Plotinos, sementara tesis – tesis filsafat Barat dibangun dari tesis Aristotelian. Akan tetapi, referensi metodologis keduanya dapat dirujukkan pada tradisi logika Aristotelian.
Paling tidak sedikitnya ada lima aliran dalam filsafat Islam yang menggunakan metode epistemologi untuk mendapatkan suatu kesimpulan (silogisme) dalam mencari tingkat suatu kebenaran. Metode epistemologi yang digunakan oleh Teologi Dialektik hampir sama dengan metode Peripatetistik yaitu bersifat deduktif – silogistik. Yaitu prosedur untuk mendapatkan dari pemahaman baik - buruk suatu kesimpulan (silogisme) dari mempersandingkan dua premis (pernyataan yang sudah disepakati terlebih dahulu nilai kebenarannya). Hanya saja Peripatetisme proses silogistik tersebut didasarkan atau dimulai dari premis – premis yang telah disepakati sebagai kebenaran yang tidak perlu dipersoalkan lagi (primary truth). Sedangkan Teologi Dialektik bertolak dari pemahaman baik dan buruk yang menyebabkan teologi Islam disebut sebagai bersifat dialektik yang dilandaskan pada kebenaran keagamaan (seperti halnya bahwa Tuhan harus Maha Kuasa).
Adapun metode epistemologi yang digunakan oleh Illuminisme dan Sufisme atau Teosofi (‘Irfan) adalah metode intuitif atau eksperiensial (pengalaman). Peran intuisi tidak hanya ditemukan oleh para pemikir keagamaan saja, akan tetapi telah dilontarkan oleh Aristoteles bahwa orang – orang yang bisa mencapai kesimpulan silogistik tanpa harus merumuskan silogisme. Yaitu, tanpa harus melalui prosedur analitis penetapan premis – premis dan penarikan kesimpulan berdasarkan penyandingan premis –premis tersebut. Intuisi ini, dalam khazanah filsafat Islam diidentikkan dengan hati (qalb, fu’aad, ruuh, sb). Namun demikian, prinsip dasar Illuminisme juga Sufisme adalah mengetahui sesuatu adalah untuk memperoleh suatu pengalaman tentangnya, yang berarti intuisi langsung atas hakekat sesuatu. Dengan demikian, pengetahuan eksperiensial tentang sesuatu dianalisis secara diskursif (logis) demonstrasional (burhan) diraih secara total, intuitif dan langsung (immediate).
Adapun perbedaan Illuminisme dengan Sufisme atau ‘Irfan (teosofi) antara lain adalah bahwa keduanya mengandalkan pengalaman langsung, akan tetapi Illuminisme percaya bahwa pengungkapan pengalaman tersebut dapat melalui diskursif – logis (metode ilmiah) yang mana hal ini juga diyakini oleh aliran filsafat Hikmah bahkan lebih ekstrem lagi yaitu segala pengalaman intuitif harus dapat diungkapan secara diskursif – logis untuk kepercayaan verifikasi publik (Haidar Baqir,2005.,h.84 – 99).
Epistemologi berarti pengetahuan yang sering disebut teori pengetahuan (theory of knowlege). Persoalan sentral epistemologi adalah mengenai persoalan apa yang didapat kita ketahui dan bagaimana cara mengetahuinya, “what can we know and how do we know it “ (Lacy : 1976, dalam Suhartono.2005.,h.157). Dalam epistemologi terdapat beberapa perbedaan mengeanai teori pengetahuan. Hal ini disebabkan karena setiap ilmu pengetahuan memiliki potensi obyek, metode, sistem dan tingkat kebenaran yang bebeda - beda. Perbedaan itu terletak pada sudut pandang dan metode yang bersumber dari rasionalisme dan empirisme. Dengan demikian, epistemologi merupakan suatu bidang filsafat nilai yang mempersoalkan tentang hakekat kebenaran, karena semua pengetahuan mempersoalkan tentang kebenaran. Proses metodis dalam rangka memperoleh kebenaran, secara epistemologis harus ditopang oleh sistem, yaitu adanya hubungan yang teratur dan konsisten diantara bagian – bagian sehingga membentuk suatu keseluruhan yang utuh.
Epistemologi Bayani (dalil agama) adalah model atau cara memperoleh pengetahuan melalui pendekatan terhadap batin teks : al - Qur’an dan as – Sunnah. Apa yang disebut berpikir hanya merupakan tindakan atau penjelasan bagaimana seseorang mesti berbuat berdasarkan teks al - Qur’an dan as- Sunnah. Rasio dalam hal ini hanya sebagai pengawal atau pembuka secara langsung atau tidak langsung (penalaran) secara bebas tetapi tetap bersandar pada teks. Sedangkan model metodologi Irfani (dalil spiritual), berpikir yang didasarkan pada pendekatan pengalaman langsung atas realitas spiritual keagamaan, yang mengungkapkan pengetahuan yang diperoleh melalui penyinaran hakekat Tuhan kepada hamba-Nya (kassyaf), latihan (riyaadhah) dan kesungguhan (mujahadah). Adapun metodeburhani (dalil logika), merupakan pendekatan yang tidak didasarkan atas teksmaupun pengalaman, akan tetapi didasarkan pada pemikiran dan kekuatan rasio atau akal yang dilakukan melalui dalil – dalil logika (Sumarna.2005.,h.160).
Dua sumber ajaran Islam yaitu al-Qur’an dan Sunnatullah. Jika wahyu pertama dibacakan Jibril atau bentuk lain, wahyu kedua adalah segala yang wujud ciptaan Allah Swt yang berupa benda mati, tumbuhan, hewan, manusia dan makhluk ghaib. Semua ciptaan ini mempunyai kaidah keberadaannya sendiri yang lebih dikenal sebagai sunnatullah atau prinsip - prinsip dasar keberadaan yang juga disebut hukum alam.
Wahyu pada ranah pertama dipahami dengan menafsirkan teks secara eksploratif, dan wahyu ranah kedua dipahami dengan melakukan deskripsi, eksplorasi, dan eksperimentasi secara sistematis. Bertolak dari kedua pemahaman tersebut, lahirlah dua bagian ilmu paling dasar yaitu; ilmu tekstual tentang segala ciptaan dalam bentuk teks, dan ilmu kontekstual tentang segala ciptaan yang empiris. Kedua ilmu itu disatukan dalam filsafat dengan segala tingkatannya. Oleh karena itu, filsafat sebagai akar ilmu tersusun dalam suatu hierarkhis yang meletakkan metafisika sebagai dasar yang dari padanya lahir berbagai cabang ilmu pengetahuan (teologi, ontologi, fisika, kosmologi, aksiologi, etika, aestetika, logika, epistemologi, dlsb).
Sesuai dengan sifat dasarnya bahwa kebenaran keseluruhan jenis ilmu diatas adalah relatif dan belum final. Hanya Allah Swt dan firman-Nya yang bersifat final. Akan tetapi fungsi dari segala ilmu itu ialah panduan bagaimana manusia hidup dalam hubungan dengan segala benda mati, tumbuhan, hewan dan manusia serta makhluk ghaib dan khususnya hubungan dengan Allah Swt. Dan, perlu diketahui bahwa puncak metafisika itulah terletak keberadaan ilmu tentang Yang Maha Ghaib (Allah Swt). Ilmu tauhid hanyalah sebuah penghampiran atas obyek Maha Ghaib (Allah Swt) yang hanya bisa diteruskan dengan proses yang disebut “hudhuri” (unspeakable) yaitu kesatuan subyek dan obyek, seperti yang ditempuh oleh Suhrawardi al-Maqtul dan Immanuel Kant.
Jika eksplorasi pengetahuan dilakukan untuk mencari dasar atau pondasi re - eksistensi peradaban Islam secara tekstual dan operasional hendaknya dilakukan suatu pendekatan historis yaitu Sirah Nabawy. Secara epistemologis berakar dari pada teks Nuzulnya Wahyu pada awal- awal turunnya di Makkah. Epistemologi re-eksistensi peradaban Islam pada era ini menduplikasi sebagaimana Nabi Muhammad Saw meletakkan dasar peradaban Islam pada awal mula. Pemikiran ini pula yang diadopsi oleh Suhrawardi al-Maqtul yang telah mengklaim dirinya sebagai pemersatu peradaban yang sempurna. Dalam pengembaraan pemikirannya untuk menemukan suatu kebenaran mutlak ia mencari sampai kepada sumber yang paling awal. Menurutnya, bahwa hikmah kebenaran itu satu, abadi, dan tidak terbagi – bagi. Bahkan ia menyarankan kepada semua orang agar mengikuti cahaya hikmah dimana saja, kapan saja cahaya itu menyinarinya, yang disebut al-hikmah al-laduniyah. Adapun sebagai metode pendekatan untuk mendapatkan pengetahuan ia membaginya kedalam dua metode yaitu metode hushuuli dan metode hudhuri (Amroeni,2005.,h.30-135).
Sistematika nuzulnya Wahyu berupa penggalan ayat – ayat yang turun di Makkah seperti penggal lima ayat pertama surah al-Alaq, penggal tujuh ayat surah al-Qalam, penggal 10 ayat surah al-Muzammil, penggal tujuh ayat surah al-Mudatsir, dan surah al-Fathehah, adalah sebagai kerangka dasar berpikir sistemik untuk mewujudkan suatu peradaban. Jika dan hanya jika al - Qur’an dan as - Sunnah dijadikan sebagai landasan pemikiran (unspeakable) dan aksi (speakable) peradaban Islam yang komprehensif dalam membangun tatanan nilai hidup dan kehidupan yang tumbuh dari suatu ideologi (iman) yang implementasinya diyakini akan mendatangkan kebahagiaan, tentu saja diskusi ini harus bertolak dari personchanger sebagai subyek atau agen perubahan.
Selanjutnya, ontologi adalah bidang kajian spesifik tentang benda mati, tumbuhan, hewan, manusia, dan makhluk ghaib yang pada umumnya dikaji dalam metafisika. Misalnya, tauhid merupakan derivasi teologi, sementara ilmu ke-Islaman yang lain berposisi sejajar dengan ilmu alam, sosial, humaniora, dlsb. Letak bedanya jika ilmu ke - Islaman dibangun secara deduktif dari data verbal al - Qur’an dan Sunnah, maka ilmu alam, sosial, humaniora (sunnatullah) dibangun dari data kuantitas alam, sosial, budaya dalam proses induktif (Mulkan, dalam Purwadi. 2002). Mengingat tauhid adalah merupakan derivasi teologi yang akan membahas tentang causa prima sebagai dasar lahirnya akar peradaban Islam maka sumber utama kajian peradaban Islam adalah al - Qur’an dan as-Sunnah. Secara ontologis diskusi akan bertolak dari realita umat Islam yang secara politis terpuruk posisinya dan terjadi gap atau kesenjangan yang sangat dalam antara visi ajaran al - Qur’an dan as - Sunnah dengan realita masyarakat Islam di seluruh dunia kini.
D. PEMBAHASAN
Pada tataran yang luas, dalam sejarah manusia peradaban – peradabanbesar umumnya identik dengan agama – agama besar dunia, dan orang – orang yang memiliki kesamaan etnis dan bahasa namun berbeda agama bisa saja saling membunuh satu sama lain. Statemen ini melahirkan peradaban plural yang ujungnya adalah agama adalah sama, bahkan tidak perlu lagi agama sehingga lahir pemikiran suatu peradaban universal. Itulah jati diri Kapitalis.
Kemudian untuk apa agama diturunkan ke dunia ? Para pakar peradaban seperti; Oswald Spengler, Max Weber, Emile Durkheim, Marcel Mauss, Alfred Weber, Carol Quigley, Rushton Coulborn, Fernand Braudel, Toynbee, dlsb. sependapat bahwa akar peradaban adalah agama. Bahwa orang – orang yang memiliki kesamaan ras dapat benar – benar terpisahkan melalui peradaban, dan orang – orang yang memiliki perbedaan ras dapat dipersatukan oleh peradaban. Utamanya melalui dua agama besar yaitu; Islam dan Kristen yang mampu melindungi dan menaungi kelompok – kelompok masyarakat yang berasal dari pelbagai suku bangsa. Pembedaan krusial antara pelbagai golongan – golongan manusia berkaitan dengan nilai - nilai, keyakinan - keyakinan, institusi – institusi, dan struktur – struktur sosial mereka, bukan pada ciri – ciri pisikal mereka.
Berdasarkan statemen para pakar peradaban tersebut, maka fokus diskusi peradaban ini adalah peradaban Islam. Para sarjana besar peradaban mengakui bahwa keberadaan Islam sebagai suatu peradaban tersendiri. Peradaban Islam terlahir dari semenanjung Arabia pada abad ke VII M, dan menyebar keseluruh Afrika Utara, semenanjung Iberia, Asia Tengah, Anak Benua dan Asia Tenggara. Peradaban Islam dibangun atas dasar Wahyu al - Qur’an dan as-Sunnah Rasulullah Muhammad Saw. Bertolak dari kedua sumber dasar tersebut lahir suatu peradaban Islam yang komprehensif. Tampaknya, peradaban Islam itu sebuah refleksi atas pemahaman terhadap penggal ayat – ayat al - Qur’an yang diturunkan pada awal mula. Dari sinilah segala ilmu (metafisika dan fisika) dibangun. Dengan demikian, dasar ilmu pengetahuan dan sains hendaknya mempunyai hubungan erat dengan ajaran Islam, sehingga tidak ada lagi dikotomi antara ilmu agama dan umum. Hal ini demi memastikan agar kemajuan sains dapat mendatangkan kebaikan bukan keburukan.
Suatu peluang yang sangat strategis jika dilihat dari sudut pandang strategi anti decline yang menurut istilah Charles Handy (1994) bahwa perubahan mengikuti kurva “S” (Sigmoid Curve) yaitu segala sesuatu pasti melalui pasang surut dalam siklus kehidupan termasuk didalamnya suatu peradaban. Bagi orang yang berpikir strategik, didalam benaknya senantiasa berpikir suatu perubahan. Dan, perubahan itu sendiri merupakan mindset yaitu berpikir antisipatif agar segala sesuatu yang telah dicapai itu tidak terjadi decline. Mengapa declineperadaban Islam pasca Rasulullah Muhammad Saw dan Khulafaur Rasyidin yang bakal terjadi tidak diantisipasi oleh para khalifah Bany Abbasiyah dan Umayah ? Dan, yang lebih penting dari itu semua apa yang harus dilakukan oleh umat Islam saat ini dalam upaya mengembalikan eksistensi peradaban Islam ? Apa konsep yang tepat sebagai rujukan membangun peradaban Islam dewasa ini ? Perspektif peradaban Islam apa dan bagaimana yang akan dibangun ?
Pertanyaan – pertanyaan diatas men-stressing pada pernyataan pertanyaan (statement questions) tentang peradaban Islam yang akan dibangun. Oleh karena itu, jika sependapat bahwa peradaban Islam dibangun diatas Wahyu al - Qur’an dan as - Sunnah, tentu saja ayat – ayat awal surah al - Alaq (1- 5) merupakan fondasi lahirnya peradaban Islam yang dimulai dari pada pencerahan tata nilai dasar peradaban Islam, yaitu tauhid / aqidah / ideologi.
Bagi kaum muslimin atau ideolog muslim dewasa ini sudah saatnya untuk berpikir rekonstruksi fondasi peradaban Islam untuk mengentaskan krisis eksistensi manusia . Dalam kerangka ini, INISIASI hendaknya memberikan kontribusi penting dengan menawarkan pandangan dunia (world view) yang utuh, holisitik, dan penuh makna kepada manusia modern, baik dalam kajian epistemologi, metafisika, etika, kosmologi, dan psikologi yang merupakan manifestasi nilaitauhid. Pada sifat – sifatnya yang seperti inilah diharapkan manusia dapat memperoleh kembali pegangan hidup yang hakiki yang bersamanya pula dapat memuasi tuntutan intelektual dan spiritualnya.
Dari uraian diatas, paling tidak ada tiga manfaat yang dapat diperoleh dengan mengembalikan tauhid sebagai dasar sistem kehidupan, diantaranya adalah ; (1) intelektual dapat memajukan sikap kritis dan analitis terhadap sistem kehidupan yang ada, (2) mendorong kaum muslimin agar memahami kompleksitas pesoalan dalam upayanya membangun sistem – sistem kehidupan Islami, (3) penguasaan isue – isue filosofis mendasar untuk mengakhiri perbedaan.
Proses dialog yang digalakkan dalam diskusi ini adalah membahas masalah – masalah eksistensi sehari – hari yang umumnya bersifat fisikal dan inderawi ke “dunia lain” yakni didalamnya pengertian agama dan keimanan beroperasi. Kenyataan inilah yang dapat mendekatkan diri kita kepada (pengetahuan) tentang elemen – elemen keimanan termasuk tentang Tuhan (ALLAH SWT), Malaikat, Nabi dan Rasul, Hari Akhir, dan sebagainya. Dalam konteks keimanan bahwa Tuhan sebagai pusat keimanan merupakan misteri yang mengandung kedahsyatan (misterium tremendum). Aspek ketuhanan ini sangat penting sebagai sarana menimbulkan ketaatan dan penghambaan kepada hukum Tuhan diantara para penyembah – Nya. Namun Tuhan juga memiliki aspek pesona dan rasa cinta (fascinosum) kepada semua hamba – Nya. Oleh karena itu, kajian dasar peradaban Islam harus dan hanya dimulai dari misteri puncak (the ultimate mystery) yaitu mengenal Tuhan (ma’rifatullah atau gnosis).
Pelaku utama sebagai peletak pondasi peradaban yang bertolak dari ajaran tauhid adalah para Nabi dan Rasul. Para ahli peradaban dunia telah mengakui bahwa peletak dan penegak peradaban Islam adalah Nabiullah Muhammad Saw. Pada saat ini merupakan moment strategis bagi ideolog Islam merekonstruksi ajaran tauhid sebagai basis re – eksistensi peradaban Islam. Metodologi yang tepat sebagai sarana pendekatan adalah Sistematika Nuzulnya Wahyu (SNW) denganbenchmark sirah Nabawiyah.
E. SISTEMATIKA NUZULNYA WAHYU
Adalah suatu keberanian yang sangat menantang. Mendefinitifkan bahwa peradaban Barat saat ini sudah sekarat merupakan statemen yang mengundang kontroversial ditengah internal dan eksternal umat Islam. Statemen ini juga suatu keberanian para futurolog Muslim yang berpikir antisipatif untuk mengisi chaosperadaban Barat. Indikator sekaratnya peradaban Barat diantaranya adalah sikap memaksakan diri untuk eksis tunggal didunia. Menurut hukum life cycle of organization bahwa kondisi peradaban Barat sudah pada puncaknya sehinggadecline secara frontal terjal atau gradual tinggal menunggu waktu yang tepat.
Seusai pasca perang dingin berakhir, arah kebijakan politik agen peradaban Barat adalah melakukan represif dinegara – negara yang dianggap reval. Setelah Komunis dinyatakan ambruk berkeping, yang menjadi sasaran utama adalah Islam. Fakta membeberkan bahwa penyerangan terhadap Afghanistan, penjajahan terhadap Irak, serta intervensi politik di berbagai negara yang dilakukan Amerika dan sekutunya adalah representasi peradaban Barat yang berperilaku biadab menjelang sekarat. Kebiadaban itu, akan lebih mempercepat proses decline nya Amerika dan sekutunya yang suatu saat kondisinya akan dibawah duli kehinaan. Jika mereka tidak beriman kepada Allah Swt.
Perspektif ajaran Islam menawarkan kepada dunia bahwa hanya dengan Islam dunia ini akan damai, sejahtera seperti yang telah dibuktikan oleh para pelaku sejarah peradaban Islam sejak zaman Nabiulah Muhammad Saw hingga Turki Usmani. Mengingat peradaban Islam telah membuktikan eksistensinya sebagai suatu sistem hidup dan kehidupan yang berdimensi dunia dan akhirat, maka umat Islam tidak gentar menghadapi segala risiko yang akan terjadi sebagai proses re – eksistensi peradaban Islam abad ini. Bagi umat Islam, dunia bukanlah tujuan akhir, tetapi merupakan media transit menuju dunia baru yaitu akhirat yang kekal dan abadi. Oleh karena itu, berjuang atau tidak, mati pasti terjadi sehingga bagi umat Islam mati itu merupakan suatu hal yang biasa bahkan diidamkan untuk mati yang lebih mulia yaitu mati Syahid, demi eksistensi peradaban Islam.
Konsep dasar peradaban Islam yang dapat mengantarkan pelakunya untuk rela berkorban segala yang dimiliki adalah Sistematika Nuzulnya Wahyu. Keikhlasan dan kematian dalam syahid merupakan rabuk perjuangan tegaknya peradaban Islam. Adapun strategi mengeksplorasi konsep peradaban Islam tersebut diperlukan keseriusan para ideolog Islam untuk terus menggali kedalaman makna al – Qur’an dan as - Sunnah dengan benchmark sirah nabawiyah. Untuk itu, ditawarkan kepada seluruh audiensi bahwa strategi pencapaian eksisnya peradaban Islam yang dibangun bertolak dari penggal ayat – ayat pertama turun di Makkah dengan judul sebagai berikut : (1) Al – Alaq : Filosofi Peradaban Islam, (2) Al – Qalam : Visi, Misi, Strategi Peradaban Islam, (3) Al – Muzammil : Spirit Peradaban Islam, (4) Al – Mudatsir : Manajemen Strategi Peradaban Islam, (5) Al – Fathehah : Existensi Peradaban Islam.
F. KESIMPULAN
Bahasan tentang peradaban adalah merupakan masalah yang sangat besar dan mendasar. Oleh karena itu, diperlukan konsentrasi diskusi yang intensif dan fokus, sehingga akan melahirkan suatu konsep peradaban Islam yang dapat dijadikan rujukan oleh semua pihak.
eradaban Islam sebuah keniscayaan yang harus dibangun kembali sebagai indikator bangkitnya Islam jilid dua pada millineum III. Dengan demikian, diperlukan strategi kebangkitan itu sendiri.
Mengingat peradaban Islam yang akan dibangun, tentu saja harus ditentukan perspektif peradaban Islam yang bagaimana dan apa serta siapa standard peradaban itu ?
Perlu ditetapkan tujuan membangun peradaban Islam agar supaya semua aktivitas diskusi dan aksi serta proses implementasi konsep peradaban tidak bias.
Anggaran diskusi peradaban adalah tidak terbatas (unlimited) karena besarnya cakupan konsep dan implementasi peradaban itu sendiri. Sehingga, diperlukan kreasi atau innovasi untuk mencari sumber dana yang dapat membiayai diskusi dan implementasi hasil diskusi.